a. Wanita yang wajib berpuasa
Syarat Wajib Puasa adalah Beragama Islam, Baligh (telah mencapai umur dewasa), Berakal, Kuasa, Sehat, Tidak musafir. Wanita muslimah yang sudah baligh dan berakal ditandai dengan menstruasi (haidh), maka ia sudah wajib berpuasa di bulan Ramadhan apabila di bulan tersebut ia tidak dalam keadaan haidh atau nifas.
b. Wanita haidh atau nifas
Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan melakukan puasa, jika ia melakukannya maka berdosa. Dan apabila seorang wanita yang sedang berpuasa keluar darah haidhnya baik di pagi, siang ataupun sore walaupun sesaat menjelang terbenamnya matahari, maka ia wajib membatalkannya, dan wajib mengqodhonya setelah ia bersuci. Juga sebaliknya jika wanita tersebut suci sebelum fajar walaupun sekejap maka ia wajib berpuasa pada hari itu walaupun mandinya baru dilakukan setelah fajar.
c. Wanita tua yang tidak mampu berpuasa
Seorang wanita yang lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa dan jika berpuasa akan membahayakan dirinya, maka ia tidak boleh berpuasa, karena Allah swt. Berfirman:”… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan …” (QS. Al Baqarah: 195) dan karena orang yang lanjut usia itu tidak bisa diharapkan untuk bisa mengqodho, maka baginya wajib membayar fidyah saja (tidak wajib mengqodho), dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, berdasarkan firman Allah swt : “Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
d. Wanita hamil dan menyusui
Wanita yang sedang hamil atau menyusui tetap harus berpuasa di bulan Ramadhan, sama dengan wanita-wanita yang lain, selagi ia mampu untuk melakukannya. Jika ia tidak sanggup untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqodhonya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali. Allah berfirman: “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184). Jika ia mampu berpuasa, tapi khawatir berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqodho di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.
e. Waktu mengqodho puasa
Wanita yang memiliki hutang puasa (harus mengqodho) karena sakit atau bepergian maka waktu mengqodhonya dimulai sejak satu hari setelah Idul fitri dan tidak boleh di akhirkan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya, barang siapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka di samping mengqodho ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai hukuman atas kelalaiannya.
f. Berbuka dan sahur
Seringkali kita menyepelekan berbuka dan sahur karena saking semangatnya berpuasa. Ada yang berfikiran kalo terlalu tergesa-gesa berbuka seolah-olah kita seperti orang kelaparan, sehingga dianggap puasa adalah suatu kewajiban yang terpaksa kita lakukan. Dan seringkali karena sudah berniat puasa orang merasa yakin akan kuat berpuasa sehingga menyepelekan sahur.
Dalam berbuka Rasulullah menganjurkan untuk ta’jil (disegerakan) seperti sabda Rasul:
“Manusia terus menerus dalam kebaikan jika mereka menyegerakan berbuka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, menyegerakan berbuka adalah menyelisihi cara orang nasrani dan yahudi.
Doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hadist shahih)
Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki
Sementara dalam sahur, Rasulullah menganjurkan untuk makan sahur, seperti sabda Rasul:
“pembeda antara puasa kita dengan puasa ahlu kitab adalah makan sahur.”
“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu ada Barakah” (HR. Muslim)
Dan sahur yang lebih utama adalah makan kurma dan mengakhirkan menjelang fajar
g. Mengkonsumsi tablet anti haidh pada bulan Ramadhan
Hendaknya seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haidh, dan membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan, karena dibalik keluarnya darah tersebut ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan, jika hal ini dihalang halangi maka jelas akan berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut, dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya, dan pada umumnya wanita yang melakukan hal ini kelihatan pucat, lemas dan tidak bertenaga. sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” HR. Ibnu Majah Namun apabila ada wanita yang melakukan hal seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut :
1. Apabila darah haidhnya benar-benar berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqodho.
2. Tetapi apabila ia ragu apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak boleh melakukan puasa.
h. Mencicipi makanan
Kehidupan seorang wanita tidak bisa dipisahkan dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai juru masak di sebuah rumah makan, restoran atau hotel. Dan karena kelezatan masakan yang ia oleh adalah menjadi tanggung jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui rasa masakan yang diolahnya, dan itu mengharuskan ia untuk mencicipi masakannya. Para ulama memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya, hal ini diqiyaskan kepada berkumur kumur ketika berwudhu.
i. Wanita Shalat Tarawih Di Masjid
Seorang wanita diperbolehkan untuk datang ke masjid, baik untuk shalat tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian, jika kehadirannya tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang lain, hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah” HR. Bukhari
Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang di antaranya : harus berhijab, tidak berhias, tidak memakai parfum, tidak mengeraskan suara, dan tidak menampakkan perhiasan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Jika salah seorang di antara kalian (para wanita) ingin mendatangi masjid maka janganlah menyentuh wangi wangian” HR. Muslim.
“Wanita manapun yang memakai wangi wangian, kemudian pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi”. HR. Ibnu Majah.
j. Wanita meIakukan i’tikaf
Sebagaimana disunnahkan bagi pria, I’tikaf juga disunnahkan bagi wanita. Sebagaimana istri Rasulullah Saw juga melakukan I’tikaf, tetapi selain syarat-syarat yang disebutkan di atas, I’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Mendapatkan persetujuan (ridha) suami atau orang tua. Dan apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk I’tikaf, maka ia tidak dibolehkan menarik kembali persetujuan itu.
2. Agar tempat dan pelaksanaan I’tikaf wanita memenuhi tujuan umum syariat. Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syariat I’tikaf adalah berdiam di masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol-wallahu a’lam ialah I’tikaf di masjid (tempat shalat) di rumahnya. Manakala wanita mendapatkan manfaat dari I’tikaf di masjid, tidak masalah bila ia melakukannya.
k. Bersiwak/sikat gigi, Keramas dan berendam di air
Rasulullah justru menuntunkan kita untuk bersiwak setiap kali wudlu, agar mulut menjadi bersih, tak terkecuali ketika kita berpuasa.
Dan mengenai keramas dan berendam, Riwayat shahih dari Abu Bakr Ibn Abd al-Rahman dari sebagian sahabat Nabi, ia berkata:” Sungguh aku melihat Rasulullah SAW menuangkan air pada kepalanya padahal beliau sedang puasa, entah karena kehausan atau kepanasan” (HR. Malik, Ahmad dan Abu Dawud).
Tidak ada dalil tegas yang melarang berendam di air ketika puasa. Jadi selama berpuasa kita boleh bersiwak, keramas maupun berendam.
Allahua’lam bishowab
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar